Senin, 16 Maret 2015

Cerpen Online Kebun Pak Han


                                       Kebun Pak Han

                                                                       

Ketika jam istirahat tadi, aku dan teman-teman main petak umpet. Kami selalu punya jadwal permainan yang akan dilakukan setiap hari. Biasanya setelah selesai bermain dan sambil bersiap menuju kelas karena bel udah bunyi, kami akan bikin kesepakatan untuk permainan besok.

Sekarang kami sudah di dalam kelas, lagi nunggu Ibu Nora masuk kelas. Putri, temanku yang duduk di dekat jendela menyibak kain gorden dan melihat-lihat ke luar, arahnya menuju tempat main petak umpet tadi. Tiba-tiba si Putri berseru

“Tania, Suci, liat, kita dicariin Pak  Han, tuh…!”

“Hah!!! Yang bener nih? duh gimana ini?” aku jalan kedekat Putri, dan ternyata memang benar Pak Han lagi  kayak ngomel-ngomel gitu di kebunnya.

“Aku tadi nggak ada turun ke kebun cabenya dia! aku ngumpet diatas-atas aja tadi.” Si Moza membela diri.

“Aku juga ndak! Kita selalu ngumpet bareng kan, Za?” tambah si Lara, ku lihat si Moza mengangguk seolah-olah dia lepas aja dari tanggung jawab. Aku jadi kesal.

“Apa-apaan sih, kok jadi pengen nyelamatin diri sendiri…. Kita itu mainnya sama-sama, tau!” ujar Arion, ketua kelas kami. “Tapi, gimana kalau Pak Han protes dan aduin kita ke kantor, gimana?” anak-anak jadi terkejut dan saling pandang. Pernyataan Arion membuatku panik. Gimana kalau beneran dilaporin sama Pak Han, terus nanti orang tua kami  di panggil, aku nggak tega karena mama pasti akan sedih dan papa bakalan marah.

“Eh, eh itu liat! Pak Han menaiki parit menuju belakang kantor… nggak salah lagi pasti kita yang dilaporin!”

“Astaga… iya, Pak Han udah di belakang kantor sekarang…”

“Pak Han serius kali marahnya ya, emang tadi batang cabenya ada yang patah nggak sama kalian?”

“Rasanya nggak, kan kami cuma sembunyi di barisan-barisan pohon cabe aja,” kataku yakin. Rasanya memang nggak ada yang patah atau keinjak sama aku tadi. “ kalau kamu gimana Ci?” lanjutku pada Suci.

“Ndak! Uci nggak ada bikin patah pohon cabe, Uci Cuma dipinggirnya aja, ndak ada masuk kedalam kebun Pak Han tuh”, katanya

“Aku sebenarnya nggak ingat, tapi barangkali mungkin tadi ada pohon cabe Pak Han yang besar itu tumbang…”

“Hah? Jadi kamu bikin pohon cabenya tumbang Ko? Pantas aja dia tu marah!” ujar fauzan pada Viko.

“Tapi aku cuma nyenggol dikit, karena tanganku hampir keliahatan sama Rizki, jadi aku mundur dan  kesenggol deh!”

“Aduh!!!” aku tutup wajahku dengan kedua tangan, pasti sekarang Pak Han sudah di kantor dan melaporkan perbuatan kami ini.

“Padahal kita nggak ada ikutan turun ke kebunnya Pak Han…” Ku dengar lagi suaranya si Moza.

“Pokoknya, kalau satu kena semuanya juga kena! Walaupun ada yang ngaku nggak ikutan ngumpet ke kebunnya pak Han, tapi ikut main kan? Jadi, semua yang main harus ikut bertanggung jawab.” Mendengar Arion yang tegas, Moza sama Riska yang tadi protes nggak kedengaran lagi suaranya.

“Siap-siap aja orang tua kita di panggil,” kata Adit sambil berjalan ke pintu.

“Itu lihat! Sekarang sudah di kantor.” Kami berjalan ke pintu dan menengok kearah kantor. Pak Han sedang bicara dengan Pak Adi, bapak kepala sekolah kami.

“Ya, Tuhan…!” entah siapa yang berseru.

“Maafkan Tania, Pa, Ma!” hatiku jadi sedih. Membayangkan mama yang bakal kecewa sama aku, terus papa yang bakal gak negur aku.

Kami lihat Bu Nora mau berjalan ke kelas kami, tapi dihentikan oleh Bapak Adi, pasti menceritakan perbuatan kami. tiba-tiba pak Adi dan Bu Nora menoleh ke kelas kami. kami semua langsung menarik diri ke dalam kelas.

“Lihat aja Bu Nora bakal marah sama kita!”

“Pak Adi aja cara natapnya marah banget!” kata Fadil dan Hakim secara bersamaan.

Bu Nora masuk kelas. Ia langsung duduk dan  menatap kami satu-persatu. Bu Nora itu kadang kalau marah dia bakalan diam aja dan nungggu sampai kami minta maaf.

“Anak-anak jaga sikap kalian ya!” sepertinya Bu Nora mulai marah. “Ibu akan tinggalkan kelas sebentar, ada surat-surat yang harus Ibu selesaikan sebelum kita mulai belajar matematika, mengerti?”

“Iya, Bu!” ucap satu kelas serentak

Baru saja beberapa langkah Bu Nora pergi kami sudah kasak-kusuk.

“Bu Nora mau bikin surat panggilan buat orang tua kita!!!” kata Adit yakin.

+++

Setelah hampir setengah jam Bu Nora masuk kelas lagi. Kami sudah sepakat untuk minta maaf terlebih dahulu sama beliau, kalaupun nanti orang tua kami di panggil, kami tak bisa berbuat apa-apa lagi.

“Bu! Kami semua minta maaf, Bu!” Fauzan yang memulai pembicaraan.

“Kalian sungguh tidak amanah!” katanya kemudian.

“kami terlalu asyik bermain pada jam istirahat tadi, Bu, terus juga turun ke kebunnya Pak Han untuk bersembunyi. Jadi, secara nggak sengaja kami telah matahin pohon cabe Pak Han, Bu!” Bu Nora memandangi kami lagi.

“Bukannya sudah pernah Ibu bilang… dulu ada kakak kelas kalian yang bermain-main ke bawah pekarangan sekolah, masuk ke kebunnya Pak Han dan menginjak-injak bibit kentang Pak Han yang baru tumbuh. Dia marah dan melapor sama kepala sekolah. Sekarang kenapa kalian lakukan itu lagi? Percuma saja ibu memperingatkan kalian berkali-kali….”

“Kami salah, Bu! Kami lupa karena lupa nasehat Ibu… kami gak bakal ulangi itu lagi, Bu” kami semua menunduk.

“Baiklah, Ibu pegang janji kalian… kalian harus memperhatikan lingkungan sekitar. Harus mengerti hal-hal yang akan membuat orang bisa marah atau tidak. Jangan membuat sekolah malu karena lingkungan masyarakat menilai kalian suka membuat masalah.”

“Orang tua kami akan dipanggil ya, Bu?”

“Dipanggil untuk apa?” kami yang semula tak berani menatap Ibu Nora jadi saling pandang.

“Pak Han, kan tadi sudah melaporkan kami sama Pak Adi dan juga Ibu,” kataku. Awalnya Bu Nora terlihat heran, kemudian mengangguk sendiri

“O, iya, Ibu mengerti…!” kami saling pandang lagi. “Jadi, tadi kalian melihat Pak Han bicara sama Pak Adi, kemudian juga ada Ibu, dan kalian menyimpulkan bahwa Pak Han datang untuk melaporkan kalian?”. Diam.

“Kami memang tidak amanah, Bu! Kami benar-benar minta maaf…”

Ibu Nora tersenyum. Ia berdiri ke tengah kelas. “Maksud Ibu kalian tidak amanah, kalian waktu ibu tinggal tadi bersuara, bukan? Ibu Aida di sebelah tadi berpapasan sama Ibu dan mangatakan kalau siswa kelas lima meribut… dan Pak Han ke kantor bukan untuk melapor kalian! Ia tadi ke kedainya Pak Joni untuk membeli tali, pohon cabenya banyak yang hamper tumbang karena semalam kan hujan sama angin kencang… setelah dari kedainya Pak Joni, Pak Han bertemu Pak Adi di depan kantor dan berbicara sebentar. Kalian tidak tahu ya, kalau Pak Han itu pamannya Pak Adi. Ketika ibu mau masuk kelas, Pak Han meminta Ibu untuk segera menyelesaikan surat undangan lomba cerdas-cermat sekabupaten yang akan diadakan di sekolah kita dua minggu lagi.”

Kami hanya saling pandang satu sama lain, ibu Nora tersenyum sambil menutup mulutnya, rasanya kami malu sekali. Kami sudah buat pengakuan dosa ternyata. Ketika pulang sekolah kami jadi tertawa sepanjang jalan mengingat hal tadi. Keesokan hari sampai seterusnya cerita tentang kebun cabenya Pak han selalu membuat kami malu, membuat kami tertawa, juga merasa konyol.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar