Cerpen Online Kebun Pak Han
Kebun Pak Han
Ketika jam istirahat tadi,
aku dan teman-teman main petak umpet. Kami selalu punya jadwal permainan yang
akan dilakukan setiap hari. Biasanya setelah selesai bermain dan sambil bersiap
menuju kelas karena bel udah bunyi, kami akan bikin kesepakatan untuk permainan
besok.
Sekarang kami sudah di
dalam kelas, lagi nunggu Ibu Nora masuk kelas. Putri, temanku yang duduk di
dekat jendela menyibak kain gorden dan melihat-lihat ke luar, arahnya menuju
tempat main petak umpet tadi. Tiba-tiba si Putri berseru
“Tania, Suci, liat, kita
dicariin Pak Han, tuh…!”
“Hah!!! Yang bener nih?
duh gimana ini?” aku jalan kedekat Putri, dan ternyata memang benar Pak Han
lagi kayak ngomel-ngomel gitu di
kebunnya.
“Aku tadi nggak ada turun
ke kebun cabenya dia! aku ngumpet diatas-atas aja tadi.” Si Moza membela diri.
“Aku juga ndak! Kita
selalu ngumpet bareng kan, Za?” tambah si Lara, ku lihat si Moza mengangguk
seolah-olah dia lepas aja dari tanggung jawab. Aku jadi kesal.
“Apa-apaan sih, kok jadi
pengen nyelamatin diri sendiri…. Kita itu mainnya sama-sama, tau!” ujar Arion,
ketua kelas kami. “Tapi, gimana kalau Pak Han protes dan aduin kita ke kantor,
gimana?” anak-anak jadi terkejut dan saling pandang. Pernyataan Arion membuatku
panik. Gimana kalau beneran dilaporin sama Pak Han, terus nanti orang tua
kami di panggil, aku nggak tega karena
mama pasti akan sedih dan papa bakalan marah.
“Eh, eh itu liat! Pak Han
menaiki parit menuju belakang kantor… nggak salah lagi pasti kita yang dilaporin!”
“Astaga… iya, Pak Han
udah di belakang kantor sekarang…”
“Pak Han serius kali
marahnya ya, emang tadi batang cabenya ada yang patah nggak sama kalian?”
“Rasanya nggak, kan kami cuma
sembunyi di barisan-barisan pohon cabe aja,” kataku yakin. Rasanya memang nggak
ada yang patah atau keinjak sama aku tadi. “ kalau kamu gimana Ci?” lanjutku
pada Suci.
“Ndak! Uci nggak ada
bikin patah pohon cabe, Uci Cuma dipinggirnya aja, ndak ada masuk kedalam kebun
Pak Han tuh”, katanya
“Aku sebenarnya nggak
ingat, tapi barangkali mungkin tadi ada pohon cabe Pak Han yang besar itu
tumbang…”
“Hah? Jadi kamu bikin
pohon cabenya tumbang Ko? Pantas aja dia tu marah!” ujar fauzan pada Viko.
“Tapi aku cuma nyenggol
dikit, karena tanganku hampir keliahatan sama Rizki, jadi aku mundur dan kesenggol deh!”
“Aduh!!!” aku tutup
wajahku dengan kedua tangan, pasti sekarang Pak Han sudah di kantor dan
melaporkan perbuatan kami ini.
“Padahal kita nggak ada
ikutan turun ke kebunnya Pak Han…” Ku dengar lagi suaranya si Moza.
“Pokoknya, kalau satu
kena semuanya juga kena! Walaupun ada yang ngaku nggak ikutan ngumpet ke
kebunnya pak Han, tapi ikut main kan? Jadi, semua yang main harus ikut
bertanggung jawab.” Mendengar Arion yang tegas, Moza sama Riska yang tadi
protes nggak kedengaran lagi suaranya.
“Siap-siap aja orang tua
kita di panggil,” kata Adit sambil berjalan ke pintu.
“Itu lihat! Sekarang
sudah di kantor.” Kami berjalan ke pintu dan menengok kearah kantor. Pak Han
sedang bicara dengan Pak Adi, bapak kepala sekolah kami.
“Ya, Tuhan…!” entah siapa
yang berseru.
“Maafkan Tania, Pa, Ma!”
hatiku jadi sedih. Membayangkan mama yang bakal kecewa sama aku, terus papa
yang bakal gak negur aku.
Kami lihat Bu Nora mau
berjalan ke kelas kami, tapi dihentikan oleh Bapak Adi, pasti menceritakan
perbuatan kami. tiba-tiba pak Adi dan Bu Nora menoleh ke kelas kami. kami semua
langsung menarik diri ke dalam kelas.
“Lihat aja Bu Nora bakal
marah sama kita!”
“Pak Adi aja cara
natapnya marah banget!” kata Fadil dan Hakim secara bersamaan.
Bu Nora masuk kelas. Ia langsung
duduk dan menatap kami satu-persatu. Bu
Nora itu kadang kalau marah dia bakalan diam aja dan nungggu sampai kami minta
maaf.
“Anak-anak jaga sikap
kalian ya!” sepertinya Bu Nora mulai marah. “Ibu akan tinggalkan kelas sebentar,
ada surat-surat yang harus Ibu selesaikan sebelum kita mulai belajar
matematika, mengerti?”
“Iya, Bu!” ucap satu
kelas serentak
Baru saja beberapa
langkah Bu Nora pergi kami sudah kasak-kusuk.
“Bu Nora mau bikin surat
panggilan buat orang tua kita!!!” kata Adit yakin.
+++
Setelah hampir setengah
jam Bu Nora masuk kelas lagi. Kami sudah sepakat untuk minta maaf terlebih
dahulu sama beliau, kalaupun nanti orang tua kami di panggil, kami tak bisa
berbuat apa-apa lagi.
“Bu! Kami semua minta
maaf, Bu!” Fauzan yang memulai pembicaraan.
“Kalian sungguh tidak
amanah!” katanya kemudian.
“kami terlalu asyik
bermain pada jam istirahat tadi, Bu, terus juga turun ke kebunnya Pak Han untuk
bersembunyi. Jadi, secara nggak sengaja kami telah matahin pohon cabe Pak Han,
Bu!” Bu Nora memandangi kami lagi.
“Bukannya sudah pernah
Ibu bilang… dulu ada kakak kelas kalian yang bermain-main ke bawah pekarangan
sekolah, masuk ke kebunnya Pak Han dan menginjak-injak bibit kentang Pak Han
yang baru tumbuh. Dia marah dan melapor sama kepala sekolah. Sekarang kenapa
kalian lakukan itu lagi? Percuma saja ibu memperingatkan kalian berkali-kali….”
“Kami salah, Bu! Kami
lupa karena lupa nasehat Ibu… kami gak bakal ulangi itu lagi, Bu” kami semua
menunduk.
“Baiklah, Ibu pegang
janji kalian… kalian harus memperhatikan lingkungan sekitar. Harus mengerti
hal-hal yang akan membuat orang bisa marah atau tidak. Jangan membuat sekolah
malu karena lingkungan masyarakat menilai kalian suka membuat masalah.”
“Orang tua kami akan dipanggil
ya, Bu?”
“Dipanggil untuk apa?”
kami yang semula tak berani menatap Ibu Nora jadi saling pandang.
“Pak Han, kan tadi sudah
melaporkan kami sama Pak Adi dan juga Ibu,” kataku. Awalnya Bu Nora terlihat
heran, kemudian mengangguk sendiri
“O, iya, Ibu mengerti…!”
kami saling pandang lagi. “Jadi, tadi kalian melihat Pak Han bicara sama Pak
Adi, kemudian juga ada Ibu, dan kalian menyimpulkan bahwa Pak Han datang untuk
melaporkan kalian?”. Diam.
“Kami memang tidak
amanah, Bu! Kami benar-benar minta maaf…”
Ibu Nora tersenyum. Ia
berdiri ke tengah kelas. “Maksud Ibu kalian tidak amanah, kalian waktu ibu
tinggal tadi bersuara, bukan? Ibu Aida di sebelah tadi berpapasan sama Ibu dan
mangatakan kalau siswa kelas lima meribut… dan Pak Han ke kantor bukan untuk
melapor kalian! Ia tadi ke kedainya Pak Joni untuk membeli tali, pohon cabenya
banyak yang hamper tumbang karena semalam kan hujan sama angin kencang… setelah
dari kedainya Pak Joni, Pak Han bertemu Pak Adi di depan kantor dan berbicara
sebentar. Kalian tidak tahu ya, kalau Pak Han itu pamannya Pak Adi. Ketika ibu
mau masuk kelas, Pak Han meminta Ibu untuk segera menyelesaikan surat undangan
lomba cerdas-cermat sekabupaten yang akan diadakan di sekolah kita dua minggu
lagi.”
Kami hanya saling pandang
satu sama lain, ibu Nora tersenyum sambil menutup mulutnya, rasanya kami malu
sekali. Kami sudah buat pengakuan dosa ternyata. Ketika pulang sekolah kami
jadi tertawa sepanjang jalan mengingat hal tadi. Keesokan hari sampai
seterusnya cerita tentang kebun cabenya Pak han selalu membuat kami malu,
membuat kami tertawa, juga merasa konyol.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar